Senin, 22 September 2008

DPR tunda pengesahan RUU Porrnografi


DPR menunda pengesahan RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) dari rencana tanggal 23 September 2008, mengingat masih dilakukan sosialisasi di masyarakat.

Ketua Pansus RUU APP, Balkan Kaplale, di Jakarta, Jumat, menyatakan, Pansus berusaha memperhatikan masukan yang disampaikan masyarakat. Komposisi keanggotaan Pansus juga telah mencerminkan kepentingan semua daerah.

Pernyataan Balkan membantah pernyataan anggota Pansus RUU APP DPR, Ali Mochtar Ngabalin yang mengemukakan bahwa Rapat Paripurna DPRI pada Selasa, 23 September 2008, mengagendakan pengesahan RUU APP sebagai UU.

Hingga saat ini masih terjadi tarik-menarik kepentingan di antara fraksi-fraksi di DPR mengenai RUU APP. Fraksi PDIP sejak awal menolak RUU ini, namun sejumlah fraksi lain, seperti PKS dan Bintang Pelopor Demokrasi berusaha menggolkan RUU APP.

“Insya Allah pengesahan RUU APP sebagai UU akan dilakukan pada rapat paripurna DPR, 23 September mendatang,” katanya di Jakarta, Kamis (18/9).

Pernyataan Ali Mochtar itu diampaikan usai menjadi salah pembicara dalam peluncuran buku “Menusuk Ahmadiyah” karya pengamat intelijen Wawan H Purwanto.

Menurut Ali Mochtar, nasib RUU APP itu akan diputuskan dalam rapat paripurna DPR tersebut, apakah akan disahkan sebagai UU atau tidak.

Ketika ditanya mengenai ancaman sejumlah fraksi seperti Fraksi PDIP yang akan memboikot sidang paripurna, Ali Mochtar mengatakan, jika ada fraksi yang tidak ikut rapat paripurna, maka akan dilakukan pemungutan suara (voting).

“Kita akan putuskan lewat voting, sebagai salah satu bentuk mekanisme pengambilan keputusan di DPR,” katanya.

Ali Mochtar menambahkan, kekhawatiran sejumlah pihak bahwa dengan adanya UU APP itu akan muncul perda-perda bernuansa syariah, tidak perlu terjadi.

Karena, menurut dia, kekhawatiran itu hanya merupakan fitnah dari kelompok-kelompok yang tidak mendukung RUU APP itu.

“RUU ini penting karena sudah lama kaum perempuan dan anak-anak tercederai dengan maraknya pornografi dan pornoaksi,” katanya.

Anggota Fraksi Partai Bulan Bintang itu juga membantah bahwa RUU tersebut dilatarbelakangi oleh pola pikir agamis.

Landasan RUU itu, katanya, adalah UUD 1945 pasal 28 huruf J ayat 2 yang menyatakan bahwa kebebasan berpendapat diatur dengan UU untuk menjaga nilai-nilai agama, moral, dan budaya.

Sebelumnya, DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyampaikan kritikan atas draft akhir RUU tersebut. Juru bicara HTI M Ismail Yusanto mengatakan RUU ini banyak mengandung kelemahan sehingga harapan masyarakat bahwa UU ini akan menghapus pornografi dan pornoaksi tidak otomatis bisa tercapai. Bahkan, lanjutnya, RUU ini malah bisa memberi jalan bagi berkembangnya pornografi itu sendiri. (nl/ant)

disadur dari hizbut-tahrir.or.id


===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Minggu, 31 Agustus 2008

AKSI DAMAI MENYAMBUT RAMADHAN GP UNESA

SURABAYA,1 September 2008.
Gerakan Mahasiswa Pembebasan Komisariat UNESA baru saja mengadakan aksi damai di depan kampus UNESA Ketintang. Aksi yang diadakan bertepatan dengan tanggal 1 Ramadhan ini bertujuan untuk menyeru para civitas akademika di lingkungan UNESA untuk menyambut datangnya bulan ramadhan yang penuh berkah dengan menerapkan syariah secara kaffah dan menghentikan segala aktivitas maksiat. Acara yang bertema " Jadikan Ramadhan Sebagai Momentum Persatuan Umat Islam " ini juga turut mengundang Omek-omek disekitar UNESA seperti Forum Ukhuwah Mahasiswa Islam (FUMI) Unesa dan beberapa omek lain. kegiatan dimulai pukul 06.00 sampai pukul 07.30 diisi dengan Orasi, seruan-seruan, dan diakhiri pembacaan Press Release GEMA. Aksi ini mendapatkan respon positif dari para mahasiswa dan masyarakat sekitar. (Ayus)

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Senin, 18 Agustus 2008

Khilafah Gemparkan London

Seruan Khilafah kembali akan gemparkan Inggris Raya. Pada hari Sabtu (16/08/2008), sebuah Konferensi Khilafah akan digelar secara terbuka di pusat Kota London. Konferensi yang bertema, "Khilafah: The Need for Political Unity" ini diselenggarakan oleh Hizbut Tahriri Inggris (HTB).

"Keruntuhan Khilafah Islamiyyah lebih dari 80 tahun lamanya jelas menjadi awal terpecah belahnya Dunia Muslim menjadi tak terhitung banyaknya negara-negara bangsa yang diperintah oleh para penguasa, diktator, dan Barat dibelakang "demokrat". Hari ini, tiga kawasan penting dunia Muslim berada di bawah pendudukan: Palestina, Iraq dan Afghanista. Krisis minyak dan pangan menyebabkan jutaan orang kelaparan. Perpecahan sektarian oleh kekuatan para penjajah hingga kita terpecah belah dan lemah."

"Kaum Muslim saat ini memerlukan sebuah arah dan pemikiran politik baru. Itu semua memerlukan sebuah kepemimpinan baru yang akan menyatukan umat dan menggunakan segala sumber daya untuk berbagai masalah yang tak terhitung banyaknya. Pada konferensi hari ini akan membicarakan kewajiban menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan dan mendiskusikan bagaimana kesatuan politik hanya jalan praktis memajukan umat Islam," demikian salah satu pernyataan publikasi mereka.

Dalam konferensi ini akan hadir para pembicara dari Hizbut Tahrir seperti Sajjad Khan, Dr. Mahmad Salim, Jamal Harwood, Dr. Imran Waheed, dan Taji Mustafa. Tak ketinggalan juga Sultana Parvin dari Muslimah Hizbut Tahrir Inggris ikut menjadi pembicara.

Sejak akhir bulan Rajab lalu, Hizbut Tahrir di berbagai negeri menggelar berbagai acara baik seminar, konferensi, hingga mengirimkan delegasi untuk mengkampanyekan kewajiban menegakkan Khilafah. Gerakan ini menegaskan, Khilafah sebagai kewajiban dari Tuhan, tempat membebaskan negeri-neger kaum Muslim serta tempat pancaran keadilan dan kebaikan.

disadur dari syabab.com

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Jumat, 08 Agustus 2008

34 Parpol, Golput, dan Pemilu

oleh : Zain Rahman el-Palembani

Pemilu 2009 tinggal hitungan bulan lagi. KPU telah mensahkan 34 parpol nasional ikut serta dalam ajang pesta demokrasi di negeri ini. Namun, pada faktanya jumlah parpol yang relatif banyak akan menambah daya apatis masyarakat terhadap perubahan melalui pemilu di negeri ini. Hal ini terlihat 30 % Pilkada daerah pun adalah golput yang berarti menganggap perubahan semu dalam sistem demokrasi kufur ini.

Rakyat tengah gelisah dihadapakan pada banyaknya permasalahan pelik dan menguntit sehari-hari. Di mulai dari BBM yang harganya naik dan melangit serta langka, Ahmadiyah yang tidak jadi dibubarkan, Sembako yang meningkat dan tindak kriminalitas yang naik 300% dalam setahun. Sehinga janji-janji parpol saat kampanye berlangsung tidak mempan dan mampu menggoda hati nurani rakyat. Rakyat mulai sadar bahwa elite politik tengah mempermainkan mereka sebagai kelinci-kelinci percobaan.

Partai-partai yang berkedok peduli rakyat hanya sebagai tameng mereka yang sebenarnya adalah partai busuk. Pantas saja tindakan apatisme ini, bukan dilandasi karena alsana tidak sempat mencoblosnamun masyarakat telah sadar benar bahwa saat ini pemerintah tidak mampu membuat solusi-solusi cerdas dalam menyelesaikan problematika ummat dan melihat pemerintah mudah ditekan oleh intervensi asing. Sehingga pada dasarnya pemilihan presiden dan legislatif bukan zamannya lagi untuk diutamakan karena ada sesuatu yang ahrus diutamakan yaitu berkibarnya islam sebagai Ideologi dan solusi cerdas dalam menghadapi setiap persoalan-persoalan negeri ini.

Dan untuk menerapkannya tiada lain harus ditegakkan konstitusi yang begitu agung dan mulia sebagai wadah kehidupan yang penuh berkah yaitu Daulah Khilafah Rasyidah yang dihapuskan 28 Rajab 87 tahun silam.

*Penulis adalah ketua lembaga Light Institute, aktivis GEMA PEmbebasan dan LDK DKM UNPAD


Disadur dari Gemapembebasan.or.id

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Sekolah Yang Penting Lulus

oleh: Wisnu Sudibjo

Pergeseran Makna

Tampaknya inilah yang memang terjadi di Indonesia yang dimulai sejak dekade 90-an. Semakin jauh dari tahun 1945 semakin terasa pula pergeseran makna belajar di sekolah. Kalau dulu orang – orang tua kita belajar mencari pemahaman, maka yang terjadi sekarang adalah mencari kelulusan. Tentu saja tolok ukur kelulusan itu adalah nilai dari matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Fenomena ini ( mencari kelulusan saja ) tidak hanya terjadi pada tingkat SMU ataupun SMP dan SD, tetapi juga terjadi pada tingkat perguruan tinggi. Sudah menjadi suatu aksioma di kampus bahwa yang penting adalah mendapatkan nilai bagus ataupun lulus. Hal ini tentu saja berbahaya bagi kecerdasan bangsa. Karena yang dihasilkan nantinya bukanlah generasi yang memiliki visi jauh ke depan tetapi generasi instant ala barat.

Salah satu jargon para kapitalis barat adalah segala hal yang berbau instant. Langsing dalam tiga hari, tiga langkah menjadi milyuner, tujuh jurus mencari pasangan dll merupakan hal yang biasa kita lihat pada buku – buku kontemporer saat ini. Rupa – rupanya hal ini juga turut dibawa ke dalam sistem pendidikan kita. Budaya yang penting lulus ( dalam UN ) merupakan salah satu cirinya.

Seputar Ujian Nasional

Banyak kalangan bertanya – tanya kenapa Ujian Nasional (UN) ini diadakan. Bukankah sudah cukup dengan evaluasi harian dan evaluasi persemester yang diadakan oleh sekolah setempat ? Apakah ujian selama tiga kali dua jam tersebut dapat merepresentasikan hasil belajar yang dicapai oleh siswa selama tiga tahun ? apakah nasib seseorang ditentukan hanya dalam enam jam itu ? serta masih banyak sekali pertanyaan – pertanyaan yang terlontar dari masyarakat terutama para siswa SMU serta SMP dan para orang tua siswa.

Mengejutkan memang dinas pendidikan nasional mengambil keputusan yang sebenarnya bukan merupakan barang baru lagi di Indonesia. Ujian tersebut juga telah berpuluh – puluh kali diadakan di Indonesia. Lalu apa bedanya ? bukankah yang dulu – dulu juga begitu saja hasilnya ?

Beberapa saat yang lalu mendiknas mengadakan show force dengan memperlihatkan angka – angka yang mencengangkan seputar UN SMU kemarin. Dikatakan bahwa angka kelulusan tahun ini meningkat pesat. Untuk SMA dari 80,76 persen pada UN 2004/2005 menjadi 92,50 persen pada UN 2005/2006. Untuk Madrasah Aliyah (MA) dari 80,37 persen menjadi 90,82 persen. SMK dari 78,29 persen pada UN 2004/2005 menjadi 91, persen pada UN 2005/2006. Wow, angka yang cukup fantastis.

Disamping itu, nilai rata – rata untuk setiap mata pelajaran yang di UN-kan juga mengalami kenaikan. Untuk SMA misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dari 6,57 menjadi 7,52. Bahasa Inggris dari 6,12 menjadi 7,54, dan Matematika/ ekonomi/bahasa Asing dari 6,54 menjadi 6,94. Menurut departemen diknas hal ini merupakan sebuah kemajuan besar karena kenaikan ambang batas yang ditetapkan.

Selesaikah masalah ?

Kenyataan dilapangan membuktikan hal yang sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di teori. Banyak faktor sebenarnya yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan studi seseorang. Tetapi tidak dengan cara instant seperti ini. Secara psikologis ketentuan ujian nasional yang hanya dilakukan sekali saja akan membawa siswa untuk melakukan apapun untuk lulus. Ini berarti tingkat contek-menyontek antar para siswa juga semakin tinggi.

Kasus – kasus seperti yang terjadi di Jakarta cukup untuk membuktikan kegagalan evaluasi belajar lewat UN ini. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah berlangganan rangking lima setiap semester selama tiga tahun, tiba – tiba saja tidak lulus UN. Sedangkan teman – temannya yang bahkan belum pernah mendapatkan rangking dapat lulus dengan hasil yang cukup memuaskan.

Fakta – fakta dilapangan seperti menyontek dengan HP, lempar – lemparan kertas, bahkan sampai – sampai terdapat peran serta guru, terjadi di lapangan. Ini semua tidak boleh kita nafikan. Seolah – olah kita tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

Mengenai nilai rata – rata yang digembar-gemborkan oleh diknas, hal tersebut tentulah tidak sesuai dengan realita proses UN itu sendiri. Karena pada dasarnya angka – angka tersebut hanyalah nilai semu. Coba saja tengok beberapa siswa yang menurut rekapitulasinya nilainya tidak bakalan setinggi itu. Bahkan yang unik, ada seorang siswa yang tidak mengerjakan soal – soal UN dengan sempurna terisi penuh, akan tetapi hasilnya sangat memuaskan yaitu nilai 10 mutlak. Dari mana hal ini dapat terjadi? Tentu muncul dalam benak para siswa toh tidak diisi semua bisa mendapatkan nilai sempurna. Lalu dimana letak kebanggaan nilai – nilai tersebut. Kalau saya sih lebih baik tidak lulus daripada lulus tetapi tidak atau kurang menguasai mata pelajaran tertentu.

Disamping itu tidak adanya sistem penilaian yang transparan juga menjadi masalah. Saya telah mengikuti tiga kali UN, yaitu pada kelas 6 SD, kelas 3 SMP, dan kelas 3 SMU. Tetapi sampai sekarang saya belum pernah sekalipun menerima lembar jawaban saya. Bukankah saya berhak untuk tahu mana yang salah dan mana yang benar. Karena saya memang ingin mencari pemahaman. Ini tentu saja lebih sebagai penegasan bahwa sekolah kita tidak mengajarkan untuk mencari pemahaman.

Seharusnya ?

Sebenarnya prinsip – prinsip yang harus dilakukan dalam rangka mendidik seorang anak sangatlah simpel. Dalam Islam hal ini telah ditentukan oleh Rasulullah dan para sahabat serta tabi’n dan tabiut tabi’in. Kita memang tidak boleh berhukum kepada fakta. Akan tetapi sekedar melihat bagaimana dahsyatnya para pelajar pendidikan Islam berkiprah, tentulah tidak ada salahnya.

Dapat kita lihat bagaimana sosok teladan muncul dari para khulafaur rashidin. Mereka sama sekali tidak pernah UN, tidak pernah ujian tulis, ataupun bentuk – bentuk ujian yang lain. Berarti tidak ada istimewanya dong pendidikan mereka. Tentu ini adalah pernyataan yang salah besar. Pendidikan mereka tentu saja istimewa sehingga mereka menjadi orang – orang yang istimewa pula.

Ataupun juga bagaimana Islam menghasilkan sosok Ibnu Sina. Beliau adalah ahli ilmu – ilmu kedokteran. Buku – buku beliaulah yang mendasari lahirnya ilmu kedokteran modern.

Satu hal yang pasti bahwa berdasarkan hadist :

“ Apabila Alloh menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar” ( HR. Bukhari )

Dalam hadist tersebut yang dituntut oleh Syari’ ( pembuat hukum ) adalah menuntut ilmu. Menuntut ilmu adalah sebuah proses bukan hasil. Karena seperti kita ketahui dalam Islam bahwa manusia yang mengusahakan dan Alloh lah yang menentukan.

Alloh swt berfirman :

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami." Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 131)

Jadi secara syar’i bukanlah kepandaian, nilai yang bagus, ataupun kelulusan instant yang menjadi tolok ukur hasil studi seseorang. Walaupun begitu kita tidak menafikan bahwa ujian bagi seorang penuntut ilmu haruslah ada. Akan tetapi tidak dengan cara – cara yang bersifat instant seperti UN. Dan hal tersebut hanya digunakan untuk mengetahui seberapa besar pelajaran yang diberikan dapat terserap. Bukan hanya sekedar menghafal cara mengerjakan tetapi juga dapat mengaplikasikannya.

Pada masa Imam Bukhari masih muda, beliau pun juga diuji oleh para ahli hadist sebelumnya untuk mengetahui seberapa banyak dan kuat hafalannya. Alkisah Imam Bukhari diuji untuk membetulkan sekumpulan hadist yang telah ditukar dan diacak – acak susunan sanad dan rawinya. Itu saja, hanya sekedar untuk mengetahui seberapa kuat hafalannya. Tidak untuk mencari kelulusan ataupun mencari nilai – nilai tertentu sebagai syarat kelulusan. Karena yang dipandang adalah prosesnya bukan hasilnya.

Satu hal lagi yang menarik adalah aplikatifnya. Bagaimana dapat kita lihat ujian yang diberikan kepada Imam Bukhari tersebut sangat aplikatif berkaitan dengan hadist. Langsung dapat terpakai. Bukan merupakan suatu hal yang bersifat hipotesis semata atau teoritis semata. Langsung ujian praktek. Karena dengan mempraktekkan, hal itu akan menjadi sebuah pemahaman bukan sekedar hafalan.

Cerita yang lain lagi. Pernah suatu ketika seorang guru tenis sedang mengajarkan bagaimana cara memukul bola yang baik dan tepat sasaran. Berkali – kali sang murid mencoba akan tetapi tetap saja meleset kesana – kemari. Namun sang guru tidak peduli dengan hasil pukulannya. Yang dia lihat sejak awal sampai akhir hanyalah bagaimana cara si murid ini memukul. Ketika dia ditanya mengapa begitu, dia dengan enteng menjawab : “ karena saya tahu bahwa tidak mungkin pukulannya akan tepat kalau cara memukulnya salah”.

Dari cerita ini pula dapat kita ambil sebuah hikmah yang mendalam. Betapa pemerintah kita terlalu sibuk dengan hasil UN yang naik. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa metode yang benar pasti akan membawa hasil yang baik. Sebaliknya, hasil yang baik belum tentu dibawa oleh metode yang benar. Dan bila metodenya tidak benar, maka sesungguhnya hasil yang dicapai pun merupakan sebuah hal yang semu pula.

Intinya hasil pasti akan mengikuti metode, tetapi tidak sebaliknya yaitu metode pasti mengikuti hasil. Dalam kasus UN, seharusnya sang gurulah yang berhak untuk menentukan lulus tidaknya seseorang. Karena bagaimanapun juga sang gurulah yang lebih tahu tentang bagaimana sang siswa ini berproses. Bukannya diknas yang sama sekali tidak ikut mendidik sang murid tersebut.

Kalaupun output yang dihasilkan jelek atau kurang berkualitas, maka seharusnya yang diintrospeksi adalah diknas itu sendiri. Diknas lah yang seharusnya di uji secara langsung kemampuannya dalam mendidik umat. Kalau seorang siswa “tidak baik” maka yang harus dievaluasi adalah pihak penyelenggara pendidikan. Bukankah mendidik anak itu bagaikan mengukir diatas batu. Maka tergantung yang mengukir mau seperti apakah ukiran tersebut nantinya. Wallahua’lam bishowwab

Penulis adalah mahasiswa S1 ITB Fakultas Teknologi Industri Program Studi Teknik Fisika, saat ini juga menjabat sebagai kepala divisi kaderisasi Gema Pembebasan Wilayah Jawa Barat.

Disadur dari Gemapembebasan.or.id

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Selasa, 29 Juli 2008

Mana Gerakan Mahasiswa?

Terasa sepi. Tak ada hiruk pikuk mahasiswa di jalanan. Tak ada teriakan lantang suara mahasiswa. Tak ada protes yang bergema. Reformasi telah meninabobokkan mereka yang dahulu menjadi avant garde pelopor. Para tokoh gerakan yang idealis perlahan-lahan luruh menjadi abna'u pragmatism atau kaum pragmatis.

Sejarah mencatat, di era reformasi ini, mereka yang dahulu memelopori peru-bahan, kini telah bergelimang dan ber-paut dengan kekuasaan serta menik-matinya. Tak ada lagi garis demarkasi yang menjadi pembatas ideologi antara pengikut al-haq dengan al-bathil. Semua-nya hidup dalam kondisi 'talbiz' campur aduk. Semuanya serba boleh. Mereka 'mati' di usia yang sangat dini karena identitas yang jelas.

Bunga-bunga perjuangan yang dahulu menjadi 'hero', telah berguguran layu, diterpa kehidupan baru, yaitu kekuasaan. Sebuah lapisan kepemim-pinan yang diharapkan dapat menjadi 'badil' pengganti penguasa yang bobrok, ternyata mereka ikut menjadi bobrok. Rakyat menjadi kecewa. Harapan yang tinggi terhadap kaum muda yang idealis, kenyataan hanyalah kosong belaka. Mereka sesudah mendapatkan kesem-patan berkuasa, tak berbeda de-ngan penguasa sebelumnya. Tamak, rakus, dan tak bermoral.

Sedih. Faktanya, mengapa siklus kehidupan di masa lalu yang 'fasad' rusak berulang dan berulang. Orang-orang yang dahulu sangat idealis, memperjuangkan cita-cita yang sangat ideal, tiba-tiba berubah meninggalkan dan melupakan idealisme yang pernah terpateri di dalam dada mereka? Mereka menjadi orang-orang yang super pragmatis. Interaksi nilai-nilai yang menjadi ruh dan motiva-tor dalam memandu gerakan yang mereka lakukan tak tampak lagi.

Kekuasaan baru di bawah rezim Soeharto membawa logika-logika politik, yang mengubah jalannya sejarah rakyat Indonesia. Orang-orang idealis yang ingin merekonstruksi sejarah kehidupan politik Indonesia, akhirnya harus berkompromi dengan rezim baru, yang merupakan kuasi (campuran) sipil-militer. Kemu-dian, menempatkan kaum sipil menjadi subordinasi dalam kekuasaan rezim militer. Sejak tahun 1968, rezim baru yang merupakan kuasi sipil-militer itu, terus melakukan konsolidasi kekuasaan. Maka, orang-orang muda yang terlibat dalam perubahan yang luas, sebagian mereka masuk dalam suprastruktur atau peme-rintahan, dan sebagian lain menjadi mesin politik rezim. Masuk Partai Golkar dan birokrasi. Inilah permulaan ideologi materialisme mempunyai pijakan yang kokoh dan menjadi budaya masyarakat Indonesia, karena rezim baru ini mem-posisikan diri sebagai bagian kepentingan kapitalisme global. Indonesia menjadikan industri Barat (Amerika dan Eropa), termasuk Jepang menjadi patronnya.

Mereka larut dalam siklus kekuasaan. Para aktivis tersebut tak mampu mencip-takan kehidupan baru, yang disertai konsep dan landasan ideologi yang jelas, tapi hanyalah sekadar menjadi judgment pembenaran atas seluruh kebijakan rezim. Tak heran orang 'besar' seperti Nurcholis Madjid, di awal Orde Baru, haruslah membuat pernyataan, yang nilainya sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan ilmuwan, tentang gagasan yang klasik, yaitu: “Islam Yes. Partai Islam No”. Per-nyataan Nurcholis itu hanyalah menguat-kan kebijakan pemerintah yang ingin membebaskan Indonesia dari belenggu ideologi-ideologi, termasuk ideologi Islam.

Sejatinya Soeharto hanyalah membe-rikan landasan yang kokoh bagi masuknya pengaruh asing, yang materialistis dan kapitalistis. Karena ideologi Pancasila yang menjadi ideologi tunggal negara, memberikan kondisi yang kondusif ma-suknya ideologi materialisme dan kapi-talisme di Indonesia. Pengikisan penga-ruh Islam secara ideologis, haruslah melalui sebuah rekayasa yang opera-sional, yang memiliki landasan yang kuat. Di sinilah letak esensinya, di mana para aktivis di tahun l965, yang dulu bergabung dengan massa besar mengakhiri kekua-saan Soekarno menjadi toleran dan pragmatis terhadap keinginan rezim. Kehidupan sekuleristik yang merasuki kaum muda hari ini, tak lain adalah warisan masa lalu, di masa pemerintahan Soeharto. Sekarang yang ada hanyalah generasi baru yang loyo, tak memiliki idealisme, dan telah larut dalam arus besar kehidupan yang memuja keme-wahan duniawi.

Mengapa orang-orang muda yang waktu di kampus penuh dengan idealisme dan heroisme menjelang kejatuhan Soeharto, di tahun l997-l998, kini sudah menjadi daun 'layu' yang rontok ber-guguran? Warisan masa lalu di zaman Soeharto, tak hilang-hilang, bahkan ber-metamorfose dalam bentuknya yang lain. Gaya hidup yang serba materialis yang sudah membudaya dan menghunjam, serta tertanam selama tiga puluh lebih, menciptakan lingkungan bi'ah, akhirnya merusak siapa saja, yang berinteraksi di dalamnya.

Di era reformasi menjadi lebih telan-jang lagi. Bentuk kebangkrutan moral dan politik, terutama di kalangan kaum muda pergerakan, kasat mata. Dari yang paling 'kanan' sampai yang paling 'kiri' telah terperangkap masuk dalam lingkaran kekuasaan. Pergeseran sikap dan kecen-derungan serta orientasi, disebabkan mereka tak memiliki daya imunitas yang kuat, ketika menghadapi godaan kekua-saan. Mereka berlomba-lomba menjadi penikmat kekuasaan. Mereka menjadi barisan orang-orang yang bermental: “Makan enak ogah kerja”. Alias 'Meok'.

Di mana mereka yang dulu menyan-dang stempel sebagai aktivis Angkatan '98? Mereka ada yang menjadi anggota legislatif, ada yang menjadi ekskutif, dan ada yang duduk menjadi komisaris BUMN. Dengan penghasilan yang luma-yan setiap bulannya, mereka mencoba dengan gaya hidup yang lain, yang tak pernah dijalani sebelumnya. Masa lalu yang penuh dengan romantisme perju-angan sudah tanggal. Tak ada lagi bekasnya.

Mereka umumnya adalah anak-anak masjid, yang mendasari prinsip dalam gerakan mereka dengan prinsip yang jelas, yaitu Islam. Tapi, di mana yang namanya mabda Islami itu letaknya dalam kehidupan praksis sekarang? Sebagai aktivis yang dulu selalu meng-idealkan nilai-nilai Islam dan selalu menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang komitmen (beriltizam) dengan Islam, kenyataannya dalam arus besar reformasi, tak tampak, dan justru mereka larut dalam kehidupan 'jahiliyah'. Hiruk-pikuk politik dan keterlibatan mereka dalam 'power game' permainan kekuasaan, menjadikan nurani mereka tumpul. Tak ingat lagi bahwa mereka dulunya aktivis Islam. Sesungguhnya, ketika berlangsung perjuangan hidup dan mati melawan rezim Soeharto, mereka mempunyai share sumbangan yang berharga. Tapi, kini mereka tak berarti apa-apa dalam kehidupan baru, yang berubah, dan mereka tak mampu mencip-takan perubahan, yang sesuai dengan cita- cita yang Islami.

Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Aktivis Dakwah Kampus (ADK), mestinya menciptakan pengganti bagi perubahan yang mendasar dan luas. Perubahan sistem, perubahan orang-orang yang menjadi pelaku atau aktor politik, dan ideologi atau nilai yang menjadi landasan dasar kehidupan manusia Indonesia. Bukan hanya sekadar menjadi pecun-dang, yang tak berharga, dan akhirnya menjadi sampah sejarah, serta masa lalu kehidupan.

Generasinya Edwin, Ketua BEM UI, dan BEM lainnya, harus berani meretas jalan baru, yang lebih bersifat holistik menyeluruh, tidak parsial dan bertujuan jangka pendek. Kehadiran mereka di depan Istana Negara Senin (12/5) ber-sama dengan mahasiswa seluruh Indo-nesia, menolak kenaikan BBM, tidak semata-mata menunjukkan bahwa masih ada gerakan mahasiswa yang mempunyai perhatian concern terhadap persoalan bangsanya samata, tapi harus menjadi sebuah entitas baru yang lebih progresif, dan sekaligus menawarkan perubahan bagi masa depan rakyat Indonesia.

“Sepuluh tahun reformasi dan berte-patan dengan kebangkitan nasional, kita dari gerakan mahasiswa baik BEM UI maupun BEM se-Indonesia telah berko-mitmen untuk menjadikan tahun ini sebagai tahun bangkitnya gerakan maha-siswa untuk menjawab permasalahan bangsa,” ujar Edwin kepada SI.

Kekuatan orang-orang muda yang progresif idealis, dan memiliki visi, komitmen, serta tidak larut dalam arus materialisme, pasti menjadi sebuah avant garde pelopor perubahan, bukan pula kumpulan orang yang hanya sekadar berbuat berdasarkan 'petunjuk'. Inilah perubahan besar yang ditunggu rakyat. Wallahu 'alam. [mashadi/www.suara-islam.com]


Disadur dari suara-islam.com

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Masa Depan Umat Islam Masih Suram Pasca Pemilu 2009 PDF Cetak E-mail

ImagePemilu 2009 mendatang belum akan memberikan masa depan yang cerah bagi umat Islam. Salah satu indikasinya adalah isi dari UU Pemilu yang syarat dengan kepentingan politis dan cenderung pragmatis, disamping kebobrokan mental para aktivis dan para legislator parpol-parpol Islam saat ini yang duduk di Parlemen dan pemerintahan.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Dakwah PPP Alfian Tanjung dalam sebuah diskusi mengenai Pemilu 2009 dan Masa Depan Umat di Depok, Ahad (27/7) malam. Alfian Tanjung mengatakan sangat prihatin karena setelah 10 tahun reformasi telah terjadi kebobrokan mental dan sistem di tingkat elit maupun grass root.

Di tingkat elit, menurut Alfian, teman-teman caleg dari parpol Islam justru berubah sikap tidak lagi memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam, contohnya dalam kasus kenaikan BBM dan penjualan sejumlah aset negara, seperti Indosat.

Hal yang perlu diwaspadai oleh umat Islam menjelang pemilu 2009 adalah meningkatnya jaringan Kristen dan komunis di Indonesia. Berdasarkan informasi yang dimilikinya, Alfian Tanjung mengatakan saat ini kader-kader PKI tengah mentargetkan 50-70 orang dapat menduduki kursi di lembaga-lembaga perwakilan rakyat di daerah maupun pusat, padahal dalam pemilu sebelumnya mereka hanya 3 orang. Untuk itu, Alfian meminta masyarakat muslim untuk lebih jeli dan waspada dalam menilai setiap caleg dari tempat domisilinya. Tidak ketinggalan, Partai Damai Sejahtera saat ini juga mentargetkan perolehan 77 kursi di DPR.

Kerusakan moral juga terjadi di level grass root. Masyarakat grass root sekarang bermental pemeras. “Masyarakat Indonesia di tingkat bawah sekarang pintar memanfaatkan momen pemilu untuk meminta berbagai fasilitas dari para politisi dan para caleg. Sehingga wajar jika para caleg yang menang adalah mereka yang memiliki kekayaan dan dana yang besar.” Bahkan Alfian mengatakan, “Jangan harap caleg bisa menang dalam pemilu legislatif jika tidak memiliki uang yang besar dan mampu membayar wartawan.”

Sementara itu, aktivis Hizbut Tahrir Ust. Abu Hanifah yang hadir pula pada diskusi tersebut menekankan perlunya perubahan paradigma berpolitik di Indonesia ke arah yang lebih islami, agar menghasilkan output yang lebih berpihak kepada kepentingan umat Islam. Menurutnya, berbagai fakta lapangan dan kebobrokan sistem seperti yang disampaikan Bapak Alfian, mestinya menjadi pendorong perlunya dilakukan pergantian sistem kearah yang lebih Islami.

Menurut Abu Hanifah, aktivitas politik didefinisikan sebagai pelayanan urusan umat baik urusan dalam negeri dan luar negeri dengan menerapkan syariat Islam.

Abu Hanifah menginginkan definisi politik yang sesuai pandangan Islam ini dijadikan acuan bahkan kalau perlu menjadi visi dan misi partai-partai Islam.

Menanggapi berbagai kebobrokan dan karut-marut perpolitikan Indonesia yang membangga-banggakan demokrasi, Abu Hanifah dalam presentasinya mengatakan sistem demokrasi adalah system khayal yang sulit diterapkan untuk umat Islam. Menurutnya, jika sistem ini terus dipaksakan untuk diterapkan maka kepentingan umat Islam akan terus dirugikan.

Dia menilai ada ambivalen dan sikap ganda dalam penerapan sistem demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan dan kesamaan bagi semua kelompok dengan pengecualian kelompok-kelompok Islam. Sebagai contok ketika kelompok umat Islam melakukan aksi-aksi menuntut hak-hak keumatannya, maka yang terjadi adalah umat Islam dituduh melanggar hak asasi manusia.

Sistem demokrasi saat ini juga melahirkan para caleg yang boros, Abu Hanifah mencontohkan, Ketua DPRD Bekasi menganggarkan Rp 1 milyar hanya untuk pembangunan pagar rumah dinas ketua DPRD. “Tidak hanya itu, anggaran untuk keperluan pembelian pakaian dinas untuk 6 bulan sebesar 406 juta,” ungkapnya dalam diskusi tersebut.

Merespon fenomena terus membesarnya kelompok Golput, Abu Hanifah membagi kelompok golput menjadi 3 kelompok, yaitu massa golput karena tidak puas dan muak melihat perilaku pejabat dan legislator yang korup. Kelompok kedua, masyarakat yang tidak puas dengan kondisi sistem kehidupan rakyat baik politik, sosial, maupun ekonomi dam ketiga adalah kelompok masyarakat yang bosan terhadap perilaku parpol-parpol Islam tapi berperilaku sekuler. [syarif/www.suara-islam.com]


Disadur dari suara-islam.com

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Khilafah menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah

Oleh: K.H. Muhammad Siddiq Al-Jawi

Pengantar

Telaah kitab kali ini akan mengupas kitab berharga tentang Khilafah. Judulnya Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, karya Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji (terbit 1987). Kitab setebal 718 halaman ini ditulis Ad-Dumaiji sebagai tesis untuk meraih gelas magister di Universitas Ummul Quro Mekah tahun 1983. Setelah diadakan ujian (munaqasyah) oleh Dewan Penguji, Ad-Dumaiji pun dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (mumtaz). Di antara Dewan Penguji itu adalah Syaikh Sayyid Sabiq, seorang ulama yang terkenal dengan kitabnya Fiqih Sunnah.


Bagi para pejuang Khilafah, dan juga umat pada umumnya, kitab ini sangatlah penting. Karena di samping memberikan wawasan ilmiah yang luas mengenai Khilafah, juga akan semakin menambah keyakinan dan kemantapan dalam berjuang. Betapa tidak, karena kitab ini membuktikan Khilafah adalah sangat penting bagi tegaknya Islam dalam kehidupan. Khilafah juga mutlak adanya untuk mengembalikan kemulian umat. Dalam salah satu butir kesimpulannya, Ad-Dumaiji mengatakan,”Tidak ada kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, kecuali dengan kembali berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan Khilafah Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam.” (hal. 516-517)

Garis Besar dan Latar Belakang Kitab

Kitab ini secara garis besar ingin membahas isu-isu terpenting dalam Khilafah, seperti definisi Khilafah dan wajibnya Khilafah, walaupun tidak semua aspek dalam Khilafah terbahas, misalnya lembaga-lembaga negara dalam Khilafah secara lengkap. Ad-Dumaiji membagi kitabnya dalam sebuah mukaddimah, dua bab isi, dan sebuah bab kesimpulan. Dua bab isi itu, yang pertama, mengenai Imamah (Khilafah) menurut Ahlus Sunnah. Yang kedua, mengenai Imam (Khalifah) menurut Ahlus Sunnah.

Bab yang pertama dirinci lagi menjadi empat sub-bab, yaitu : (1) definisi Imamah, (2) wajibnya Imamah dan dalil-dalilnya, (3) tujuan-tujuan Imamah, dan (4) metode pengangkatan Imam. Bab yang kedua juga dirinci lagi, menjadi empat sub-bab, yaitu : (1) syarat-syarat Imam, (2) hak dan kewajiban Imam, (3) pemberhentian Imam, (4) berbilangnya Imam. Bab kesimpulan berisikan 26 butir-butir kesimpulan dari keseluruhan uraian kitab yang panjang lagi lebar.

Sebelum dilanjutkan, perlu klarifikasi dulu mengenai istilah Khilafah dan Imamah. Kedua istilah ini sebenarnya sama saja maknanya alias sinonim. Dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Juz 9 hal. 881, Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Patut diperhatikan, bahwa Khilafah, Imamah Kubra, dan Imaratul Mu`minin merupakan istilah-istilah yang sinonim (mutaradif) dengan makna yang sama.” Jadi, Imamah sama dengan Khilafah, dan Imam sama dengan Khalifah. Ad-Dumaiji sendiri dalam kitabnya hal. 34 juga mengutip pendapat senada dari Muhammad Najib Al-Muthi’i. Dalam takmilah (catatan pelengkap) yang dibuatnya untuk kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (Juz 17/517), Al-Muthi’i berkata,”Khilafah, Imamah, dan Imaratul Mu`minin adalah sinonim.”

Lalu apa latar belakang Ad-Dumaiji menulis kitabnya ini? Ad-Dumaiji menerangkan dalam Mukadimah (hal. 7-10), bahwa yang mendorongnya adalah adanya upaya-upaya jahat berupa tasywih (pencitra-burukan) dan tadnis (pencemaran) terhadap ajaran Khilafah yang telah ada sejak masa awal Islam hingga masa modern kini. Ad-Dumaiji memberikan beberapa contohnya (hal. 8-9). Misalnya pendapat Abdul Hamid Mutawalli dalam Mabadi` Nizham Al-Hukm hal. 162, yang menyatakan bahwa berdirinya Khilafah seperti yang digambarkan para fukaha, adalah mustahil untuk masa sekarang. Contoh lain adalah pendapat Syaikh al-Maraghi (penulis Tafsir Al-Maraghi) yang berkata,”Dimungkinkan sebuah pemerintahan Islam keluar dari agama Islam lalu menjadi sebuah pemerintahan sekuler. Tidak ada larangan untuk itu…seperti halnya negara Turki yang baru.” (Musthofa Shabri, Mauqif Al-‘Aql wa Al-‘Ilm wa Ad-Din, Juz 4/285).

Latar belakang inilah yang membuat Ad-Dumaiji sangat prihatin dan sekaligus menentukan tujuan penulisan tesisnya. Ad-Dumaiji menyatakan bahwa kitabnya bertujuan untuk membersihkan konsep Imamah dari segala macam debu dan kotoran yang menempel sehingga konsep Imamah menjadi jelas bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran (thalibul haq) (hal. 10).

Beberapa Keunggulan Kitab

Setiap kitab punya keterbatasan dan keunggulan. Oleh Ad-Dumaiji sendiri, diakuinya bahwa kitabnya tidaklah membahas Khilafah secara komprehensif, sebagaimana tujuan awalnya (hal. 10-11). Setelah mengumpulkan sekitar 260 referensi dan menelitinya selama dua tahun, Ad-Dumaiji, akhirnya “menyerah” dan membatasi cakupan pembahasannya. Ad-Dumaiji akhirnya hanya menulis dua bab untuk delapan sub-bab sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Untuk itu Ad-Dumaiji “hanya” menulis sebanyak 718 halaman, yang sebenarnya itu pun sudah lumayan tebal. Bandingkan dengan kitab-kitab fiqih siyasah sejenis, semisal kitab Muqaddimah fi Fiqh An-Nizham As-Siyasi Al-Islami karya Muhammad Syakir Asy-Syarif (61 halaman). Atau kitab An-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam karya Dr. Mazin bin Shalah Mathbaqani (63 halaman). Juga kitab Hablul I’tisham fi Wujub Al-Khilafah fi Din Al-Islam karya Sayyid Muhammad Habib al-Mushili (139 halaman). Atau kitab Fiqh Al-Ahkam As-Sulthoniyah karya Abdul Karim Muhammad Muthi' Al-Hamdawi (363 halaman).

Namun demikian, bagaimana pun juga, di balik keterbatasan cakupannya, kitab Ad-Dumaiji ini patut mendapat pujian. Selain ditulis dengan penuh kesungguhan dan kecermatan, kitab ini juga mempunyai beberapa keunggulan. Di antaranya :

1. Kesadaran Akan Situasi Kontemporer

Ad-Dumaiji menunjukkan kesadaran yang tinggi akan situasi kontemporer umat Islam, khususnya setelah hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924. Ad-Dumaiji misalnya berkata dengan tajam,”Ketika ‘orang sakit’ (Daulah Utsmaniyah) ini mati, anjing-anjing dunia (kilaab al-dunya) membagi-bagi harta warisannya, dan tertancaplah perpecahan dan permusuhan di antara putera kaum muslimin. Loyalitas (wala`) pun lalu diberikan kepada tanah air, nenek moyang, atau suku, sebagai ganti dari loyalitas dan kecintaan kepada Allah dan karena Allah.” (hal. 7-8).

Tak hanya mempunyai kesadaran politik, Ad-Dumaiji juga mempunyai wawasan pemikiran politik modern yang memadai. Karenanya dia dapat menilai bahwa,”Sistem pemerintahan dalam Islam berbeda dengan seluruh sistem-sistem pemerintahan buatan manusia, baik yang dahulu maupun sekarang. Perbedaan di antaranya terdapat dalam tujuan, sarana, dan target…” (hal. 575)

Maka bagaikan bumi dan langit, kalau kita bandingkan kesadaran itu dengan kesadaran sebagian ulama negeri ini yang terpengaruh oleh sistem demokrasi yang ada. Mereka gagal memahami perbedaan mendasar antara sistem Khilafah dengan sistem demokrasi yang kufur. Sebagai contoh, ada ulama yang menganggap bahwa lembaga demokrasi sekarang (DPR dan MPR) adalah sepadan dengan Ahlul Halli wal Aqdi sebagaimana uraian oleh Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah. Padahal Imam Mawardi bicara dalam konteks sistem Imamah (Khilafah), yang berprinsip kedaulatan di tangan syariah. Bukan dalam sistem demokrasi-sekular, yang berprinsip kedaulatan di tangan rakyat.

2. Metode Penulisan Yang Adil

Ad-Dumaiji dalam kitabnya sering kali harus membahas dan menilai berbagai pendapat, baik pendapat yang memang khilafiyah maupun pendapat asing yang lahir dari ideologi kapitalisme-sekular.

Dalam menghadapi masalah khilafiyah, Ad-Dumaiji senantiasa memaparkan hujjah (dalil) masing-masing pendapat, lalu melakukan tarjih untuk memilih pendapat yang terkuat. Jadi tidak sepihak langsung menyatakan pendapat yang dipilih. Sebagai contoh, ada khilafiyah mengenai hukum wajibnya Khilafah, apakah wajibnya itu berdasarkan syara’ (pendapat Ahlus Sunnah) atau berdasarkan akal (pendapat Mu’tazilah). Ad-Dumaiji pun memaparkan dalil masing-masing lalu mentarjih yang terkuat, yaitu wajibnya Khilafah itu adalah berdasarkan syara’ bukan akal (hal. 65-71).

Dalam menghadapi pendapat asing pun Ad-Dumaiji juga bersikap adil. Terhadap sebagian intelektual yang menolak wajibnya Khilafah, seperti Ali Abdur Raziq (dalam kitabnya Al-Islam wa Ushul al-Hukm), Abdul Hamid Mutawalli (dalam kitabnya Mabadi` Nizham Al-Hukm fi Al-Islam), dan Khalid Muhammad Khalid (dalam kitabnya Min Huna Nabda`), Ad-Dumaiji tetap berusaha menelusuri dan menampilkan hujjah mereka, lalu membantahnya dengan telak. Yang menarik, Ad-Dumaiji juga secara jujur menyebutkan “pertobatan intelektual” di antara penentang Khilafah itu. Tentang Khalid Muhammad Khalid, Ad-Dumaiji menulis secara objektif bahwa semula Khalid menolak wajibnya Khilafah. Lalu Khalid "bertobat" dan menarik pendapatnya serta menulis sebuah kitab Ad-Daulah fi al-Islam untuk menasakh kitab sebelumnya yakni Min Huna Nabda` (hal. 74-75). Cara penulisan yang adil dan objektif dari Ad-Dumaiji ini memang patut diteladani.

3. Memperluas Wawasan

Siapapun yang membaca buku Ad-Dumaiji ini, akan memperoleh tambahan wawasan ilmu keislaman khususnya fiqih siyasah yang tidak sedikit. Maklum saja, karena karya Ad-Dumaiji ini disajikan sebagai hasil olahan dari 260 kitab rujukan. Dan sebagaimana lazimnya penulisan ilmiah, kitab Ad-Dumaiji ini penuh dengan catatan kaki yang memudahkan pembacanya memeriksa dan meneliti rujukan aslinya.

Sebagai contoh, ketika membicarakan dalil-dalil wajibnya Khilafah, Ad-Dumaiji ternyata menemukan enam macam dalil. Dalil pertama, Al-Qur`an : yaitu QS An-Nisaa` : 59, QS Al-Ma`idah : 48-49, QS Al Hadid : 25, dan ayat-ayat hudud qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah. Dalil kedua, As-Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi’liyah. Dalil ketiga, Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Rasul dan menjelang wafatnya Umar. Dalil keempat, kaidah syar’iyah berbunyi maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya. Dalil kelima, kaidah dharar, yaitu hadits laa dharara wa laa dhiraara (tidak boleh menimbulkan kemudharatan pada diri sendiri maupun orang lain). Bahwa tanpa Khilafah, umat berada dalam kemudharatan, maka Khilafah wajib ada untuk menghilangkan kemudharatan. Dalil keenam, bahwa khilafah termasuk perkara yang dituntut oleh fitrah dan adat manusia (Lihat Ad-Dumaiji, al-Imamah Al-‘Uzhma, hal. 49-64).

Sungguh, penjelasan hampir 20 halaman untuk dalil-dalil wajibnya Khilafah ini sudah barang tentu akan memperluas cakrawala wawasan keilmuan muslim. Kita patut berterima kasih kepada penulisnya. Syukron ya Al-Akh Ad-Dumaiji...

Maka akan terasa aneh bin ajaib, kalau ada yang mengatakan, ”Khilafah tidak ada dalilnya (nash) dari al-Qur`an dan Hadits. Khilafah hanya ijtihad para shahabat dan ulama.” Sesungguhnya akan lebih sopan dan akan bisa dimaklumi kalau mereka mengatakan,”Kami belum menemukan dalil wajibnya Khilafah.” Tapi kalau mengklaim Khilafah tidak ada dalilnya, sungguh ini adalah suatu kesombongan yang besar sekaligus pembodohan yang keji kepada umat Islam. Allah Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban atas perkataan batil itu di Hari Kiamat nanti. [ ]

REFERENSI


Abdusshomad, Muhyiddin, Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah), http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10652
Al-Hamdawi, Abdul Karim Muhammad Muthi', Fiqih Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (www.saaid.net)
Al-Mushili, Sayyid Muhammad Habib Al-Ubaidi, Hablul I’tisham fi Wujub Al-Khilafah fi Din Al-Islam, (Al-Mushili : Tanpa Penerbit), 2003
Asy-Syarif, Muhammad bin Syakir, Muqaddimah fi Fiqh An-Nizham As-Siyasi Al-Islami, (www.saaid.net)
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 9 (Al-Istidrak), (Damaskus : Darul Fikr), 1996
Mathbaqaniy, Mazin bin Shalah, An-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam, (www.saaid.net)
Hasil Bahtsul Masail PWNU Jatim "Khilafah" Tidak Tepat Untuk Indonesia, http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10686

Disadur dari Syabab.com


===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Kamis, 17 Juli 2008

Substansi Syariat Islam

Definisi Syariat Islam

Kata syariat Islam merupakan pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-syarî‘ah al-Islâmiyyah. Secara etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra‘ah al-mâ’ (sumber air minum).1 Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan syarî‘ah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah kering.2 Dalam bahasa Arab, syara‘a berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara‘a lahum-yasyra‘u-syar‘an berarti sanna (menetapkan).3 Syariat dapat juga berarti madzhab (mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus).4

Dalam istilah syariat sendiri, syarî‘ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang beragam.5 Hukum-hukum dan ketentuan tersebut disebut syariat karena memiliki konsistensi atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Dengan demikian, syariat dan agama mempunyai konotasi yang sama,6 yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya.

Sementara itu, kata al-Islâm (Islam), secara etimologis mempunyai konotasi inqiyâd (tunduk) dan istislâm li Allâh (berserah diri kepada Allah). Istilah tersebut selanjutnya dikhususkan untuk menunjuk agama yang disyariatkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Dalam konteks inilah, Allah menyatakan kata Islam sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

ِ﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِْسْلاَمَ دِينًا﴾

Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan meridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (QS al-Mâ’idah [5]: 3).

Karena itu, secara syar‘î, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya.7 Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian.8

Dengan demikian, syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Artinya, cakupan syariat Islam meliputi akidah dan syariat. Dengan kata lain, syariat Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas fisik manusia (af‘âl al-jawârih), tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati manusia (af‘âl al-qalb) yang biasa disebut dengan akidah Islam. Karena itu, syariat Islam tidak dapat direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam dalam masalah hudûd (seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya); apalagi oleh keberadaan sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan sebagainya.

Ruang Lingkup Syariat Islam

Dengan definisi syariat Islam baik secara etimologis maupun terminologis syar‘î di atas, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah maupun peraturan atau sistem kehidupan yang menjadi turunannya.

Akidah Islam adalah keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya; kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya berasal dari Allah SWT semata.9 Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh perkara yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.10 Akidah Islam merupakan pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih problem mendasar manusia di seputar: dari mana manusia berasal; untuk apa manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah mati.11 Artinya, akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi sumber dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan di seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3) Hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia, hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus tunduk pada syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh aktivitas manusia di hadapan-Nya.12

Sementara itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian.13 Tentu saja, untuk bisa disebut sistem Islam, ia harus digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, maupun Qiyas.

Al-Quran, misalnya, dengan tegas menyatakan:

﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾

Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).

Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama:

»قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ «

Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad).

Dari dua nash di atas, tampak jelas bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. telah mengatur segala urusan tanpa kecuali; mulai dari hubungan manusia dengan Penciptanya—dalam konteks akidah dan ibadah semisal shalat, puasa, zakat, haji dan jihad; hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti dalam urusan pakaian, makanan dan akhlak; hingga hubungan manusia dengan sesamanya seperti dalam urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri, dll. Secara konseptual, semuanya telah diatur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya.

Sementara itu, dalam tataran praktis atau aplikatif, Islam juga memiliki tatacara tertentu yang digunakan untuk mengaplikasikan hukum-hukumnya, memelihara akidahnya, dan mengembannya sebagai risalah dakwah. Dengan demikian, yang pertama bersifat konseptual dan tidak mempunyai pengaruh secara fisik sehingga disebut sebagai fikrah (konsep) saja, sedangkan yang kedua bersifat praktis dan aplikatif sehingga disebut dengan tharîqah (metode). Sebab, yang terakhir ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga bersifat praktis dan aplikatif karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik, di samping bersifat tetap.

Kedua fakta di atas bisa dijelaskan lebih jauh. Akidah Islam, kewajiban shalat, zakat, haji, dan puasa, misalnya, adalah fikrah. Sementara itu, jihad, dakwah, dan sanksi atas tindakan kriminal (‘uqûbât) adalah tharîqah karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik dan bersifat tetap; tidak berubah karena situasi dan kondisi.14 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam mencakup fikrah dan tharîqah.

Karena syariat Islam terdiri dari fikrah dan tharîqah, keduanya harus diyakini secara utuh; tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Mengimani fikrah-nya saja (semisal kewajiban menegakkan shalat dan haramnya meninggalkan zakat) tanpa meyakini tharîqah untuk mengaplikasikannya semisal (keharusan memberlakukan sanksi ta’zîr bagi para pelanggarnya) bukan hanya akan mengakibatkan terabaikannya pelaksanaan syariat Islam tersebut, tetapi juga dapat mengantarkan siapa saja yang mengingkarinya pada kekufuran—jika yang diingkarinya adalah hukum-hukum yang bersifat tegas/pasti (qath‘î) dari segi sumber (tsubût) dan makna (dalâlah)-nya.

Dengan ungkapan lain, syariat Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spiritual (‘aqîdah rûhiyyah) dan ideologi politik (‘aqîdah siyâsiyyah). Spiritualisme Islam telah membahas hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya yang terangkum dalam akidah dan ubudiah; membahas pahala dan dosa manusia; serta membahas seluruh urusan keakhiratan manusia seperti surga dan neraka. Sebaliknya, ideologi politik Islam telah membahas seluruh urusan keduniaan yang terangkum dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya; baik menyangkut bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, maupun politik luar negeri, dan sebagainya.15 Istilah ‘aqîdah (keyakinan, prinsip dasar, ideologi) sengaja digunakan untuk menyebut kedua konsepsi di atas. Alasannya, karena masing-masing aspek tersebut merupakan ajaran Islam yang harus diyakini oleh setiap Muslim dan merupakan persoalan agama yang telah sama-sama diketahui urgensinya (ma‘lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah). Penolakan terhadap salah satu atau kedua-duanya sekaligus dapat mengakibatkan seseorang terpelanting dari Islam alias murtad.

Dari sini, dapat disimpulkan, bahwa syariat Islam bukan hanya mengatur urusan dan persoalan yang dibahas oleh agama, tetapi juga urusan dan persoalan yang dibahas oleh ideologi. Dengan lingkup syariat Islam yang meliputi dua wilayah ini—agama dan ideologi—maka tepat sekali jika Islam disebut sebagai agama dan ideologi sekaligus. Artinya, secara mendasar, Islam jelas berbeda dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan sebagainya yang bersifat spiritual. Syariat agama-agama non-Islam di atas pada faktanya hanya membahas urusan dan persoalan spiritual (keakhiratan) sehingga hanya layak disebut sebagai agama. Sebaliknya, urusan dan persoalan keduniaan yang dibahas oleh ideologi, tidak dibahas oleh agama-agama non-Islam tersebut. Islam juga berbeda dengan ideologi-ideologi lain seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Kedua ideologi tersebut pada faktanya juga hanya membahas urusan dan persoalan keduniaan semata. Sebaliknya, urusan dan persoalan spiritual (keakhiratan) yang dibahas oleh agama tidak dibahas oleh keduanya. Karena itu, baik Kapitalisme maupun Sosialisme tidak dapat disebut sebagai agama, tetapi lebih tepat disebut sebagai ideologi.

Walhasil, Islamlah—dengan syariatnya—satu-satunya yang ada di dunia ini yang membahas seluruh urusan dan persoalan keduniaan maupun keakhiratan dengan sempurna. Artinya, hanya Islamlah satu-satunya syariat di dunia ini yang utuh dan sempurna, yang dapat diimplementasikan sebagai agama dan ideologi sekaligus.

Keluasan dan Fleksibelitas Syariat Islam

Dari uraian di atas, dapat dibuktikan bahwa syariat Islam mempunyai lingkup yang sangat luas; mencakup seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman:

﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾

Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).

﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِْسْلاَمَ دِينًا﴾

Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian. (QS al-Mâ’idah [3]: 3).

Kedua ayat ini membuktikan cakupan Islam yang meliputi seluruh urusan manusia. Urusan-urusan tersebut semuanya telah dijelaskan oleh Islam. Syariat Islam yang mengatur seluruh urusan tersebut telah disempurnakan oleh Allah sehingga tidak ada sedikitpun kekurangan di dalamnya. Dengan kata lain, tidak ada satu pun persoalan dan urusan kehidupan manusia yang tidak dijelaskan oleh Islam.

Keluasan syariat Islam terlihat dari cakupannya yang meliputi seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia; mulai dari yang bersifat duniawi hingga yang bersifat ukhrawi; dari yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya), horisontal (hubungan manusia dengan sesamanya), hingga persoalan personal (hubungan manusia dengan dirinya sendiri). Semua itu terepleksikan dalam urusan akidah dan ubudiah; pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, dan sanksi hukum; akhlak, makanan, dan pakaian. Semuanya telah dibahas tuntas dan jelas oleh syariat Islam. Penggalian berbagai hukum terhadap nash-nash syariat, yakni al-Quran dan Sunnah Nabi, memungkinkan dipecahkannya berbagai kasus dan persoalan yang beragam. Kasus-kasus perburuhan, misalnya, baik negeri ataupun swasta, dapat diselesaikan dengan hukum syariat yang digali dari firman Allah berikut:

﴿فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ﴾

Jika mereka (para wanita itu) menyusui untuk (anak-anak) kalian, berikanlah upah-upah mereka. (QS at-Thalâq [65]: 6).

Secara eksplisit, ayat ini menjelaskan hak wanita yang dicerai atas upah menyusui yang dilakukannnya terhadap anak hasil pernikahan antara dirinya dan bekas suaminya. Dari kasus upah wanita yang dicerai ini lahir definisi syar‘î mengenai akad perburuhan (ijârah), yaitu akad atas jasa tertentu dengan kompensasi tertentu.16 Definisi ini merupakan bagian dari hukum syariat yang relevan untuk diimplementasi pada seluruh kasus perburuhan, baik buruh khusus maupun umum. Definisi ini juga dapat digunakan untuk menghukumi status akad kekhalifahan antara khalifah dan umat atau akad antara khalifah serta para pembantu dan walinya, yakni bahwa mereka tidak diangkat berdasarkan akad perburuhan (‘aqd al-ijârah). Artinya, mereka tidak layak mendapatkan upah sebagaimana halnya buruh, tetapi sekadar mendapatkan kompensasi atau santunan non-gaji.17 Karena bukan akad perburuhan, mereka juga tidak dapat diberhentikan oleh umat, karena umat bukan majikan mereka, dan mereka bukan buruh umat. Mereka hanya dapat diberhentikan oleh mahkamah mazhâlim (sejenis mahkamah agung, peny.) sebagai institusi yang berfungsi untuk menghilangkan kezaliman yang dilakukan oleh aparat pemerintahan.

Namun demikian, tidak semua nash-nash syariat yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi membahas seluruh persoalan kehidupan manusia secara rinci/mendetail (mufashshal). Sebagian besar nash-nash tersebut bahkan hanya menjelaskan hukum-hukum tertentu secara global (mujmal) dengan makna-makna yang bersifat general (ma’ân ‘âmmah). Sementara itu, rinciannya diserahkan pada mekanisme ijtihad para mujtahid, yaitu ketika bentuk dan makna yang bersifat global dan general tersebut hendak diimplementasikan sesuai dengan kondisi kasus-perkasus pada setiap waktu dan tempat. Hukum waris, misalnya, di satu sisi dinyatakan secara rinci (mufashshal) di dalam al-Quran. Akan tetapi, dalam sebagian kasus tertentu, hukum waris memerlukan ijtihad seorang mujtahid, seperti dalam kasus kalâlah. Sebagaimana diketahui, Allah SWT berfirman:

﴿وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ
فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ﴾

Jika seseorang yang mati—baik laki-laki maupun perempuan—adalah kalâlah, sementara ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing saudaranya itu seperenam harta. (QS an-Nisâ’ [4]: 12).

Ketika Abû Bakar ditanya mengenai pengertian kalâlah, beliau menjawab, “Kalâlah adalah orang yang tidak memiliki bapak maupun anak.”18

Sebaliknya, ‘Umar bin al-Khaththâb berpendapat yang berbeda dengan Abû Bakar. Menurutnya, kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak saja. Akan tetapi kemudian, sebelum meninggal, ‘Umar meninggalkan pendapatnya dan kembali merujuk pada pendapat Abû Bakar.19 Perbedaan antara Abû Bakar dan ‘Umar ini wajar terjadi karena nash yang menjelaskan kasus kalâlah ini tidak rinci (ghayr mufashshal).

Dengan adanya nash-nash syariat yang bersifat global (mujmal) dan general (‘âmmah), setiap dinamika, perubahan, dan perkembangan persoalan yang berlangsung di tengah manusia sangat mungkin direspon dan diselesaikan dengan cepat oleh para mujtahid. Sekalipun demikian, adanya perubahan dan perkembangan realitas yang terjadi tidak berarti nash-nash syariat tunduk pada realitas yang ada. Sebaliknya, realitas tersebutlah yang harus tunduk pada nash-nash syariat. Dalam hal ini, Islam telah mensyariatkan satu metode untuk menyelesaikan seluruh problem yang berkembang, yakni menyeru para mujtahid untuk mempelajari problem yang terjadi sampai benar-benar dipahami, memahami nash-nash syariat yang relevan dengan kasus yang terjadi, dan baru setelah itu menggali atau mengimplementasikan hukum atau pemecahan atas problem tersebut.20

Dengan cara seperti ini, keluasan nash-nash syariat untuk menghasilkan berbagai hukum syariat dan fleksibelitasnya sehingga dapat diimplementasikan dalam berbagai kasus telah menjadi ciri khas syariat Islam. Dengan karakter seperti inilah syariat Islam mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan seluruh problem dalam kehidupan manusia, baik di masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang.

Di samping bukti-bukti normatif di atas, juga terdapat bukti-bukti historis, yakni perjalanan peradaban Islam yang sangat panjang dan sangat agung—selama hampir 13 abad—sebagai hasil dari diterapkannya syariat Islam di muka bumi. Bukti-bukti normatif maupun historis ini mengukuhkan bahwa selama metode penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi—yang bersumber dari syariat Islam—diterapkan oleh umat Islam dan pintu ijtihad pun tetap dibuka, selama itu pula syariat tidak pernah kering akan solusi sekaligus tetap layak diterapkan di manapun dan kapanpun. Akan tetapi sebaliknya, ketika syariat Islam tidak diterapkan dan pintu ijtihad pun seolah telah ditutup, umat Islam menjadi mandul dan tidak mampu memecahkan berbagai persoalan yang terjadi. Inilah yang pernah dihadapi umat Islam pasca ‘ditutupnya’ pintu ijtihad oleh al-Qaffâl pada abad ke-4 Hijriah/10 Masehi dan pasca digusurnya syariat Islam seiring dengan diruntuhkannya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 oleh Kemal Attaturk yang berkonspirasi dengan Yahudi dan Inggris.

Hukum Tidak Berubah karena Faktor Waktu dan Tempat

Karakteristik hukum Islam sangat berbeda secara diametral dengan hukum produk Kapitalisme maupun Sosialisme. Hukum Islam dibangun berdasarkan nash-nash syariat yang tetap. Dalam Islam, nash-nash syariat adalah sumber hukum yang kemudian menghukumi realitas. Sebaliknya, dalam Kapitalisme, misalnya, realitaslah yang menjadi pijakan hukum yang kemudian menghasilkan produk-produk hukum yang sesuai dengan (mengakomodasi) realitas.21 Akibatnya, hukum produk Kapitalisme ini berubah-ubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda antara satu tempat dan tempat lainnya. Ini adalah konsekuensi dari dijadikannya realitas—yang terus berubah dan berkembang—sebagai pijakan hukum. UU Pemilu Tahun 1999, misalnya, yang notabene baru dan dianggap paling baik dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya, kini telah direvisi dengan alasan mempunyai kelemahan-kelemahan seiring dengan tuntutan dan perkembangan baru jagat perpolitikan di Tanah Air. Sementara itu, hukum produk Sosialisme dibangun berdasarkan hipotesis-teoretis yang diasumsikan ada dalam permasalahan yang terjadi.22

Sebagaimana telah dijelaskan, produk hukum Islam digali dari nash-nash syariat, sementara pada saat yang sama nash-nash tersebut tidak tetap dan tidak pernah mengalami perubahan. Karena itu, produk hukum tersebut harus selalu terikat dengan nash dan tunduk pada apa yang dinyatakan oleh dalâlah-nya. Pertimbangan atas dasar ‘perubahan zaman’ dan perbedaan tempat tidak mempunyai nilai sama sekali di sini, sebagaimana pertimbangan atas dasar kemaslahatan atau kemadaratan.

Perbedaan kultur, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat juga tidak boleh mempengaruhi hukum Islam. Sebab, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat bukanlah ‘illat (motif diberlakukannya hukum) dan sumber hukum. Bahkan, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat acapkali banyak yang bertentangan dengan syariat. Apalagi kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat yang ada pada masa sekarang ini pada dasarnya merupakan kristalisasi dari pemikiran dan hukum-hukum yang bersumber dari sistem sekular yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan masyarakat. Namun demikian, jika kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam, ia dibolehkan (mubah). Hanya saja, kebolehannya bukan karena pertimbangan apa-apa kecuali karena memang dibolehkan oleh nash-nash syariat.

Sebagaimana dimaklumi, syariat Islam adalah yang itu-itu juga; tidak pernah berubah. Yang halal akan tetap halal dan yang haram akan tetap haram. Selamanya begitu hingga Hari Kiamat, karena wahyu Allah telah terputus dan syariat Islam telah sempurna. Karena itu, khamar, misalnya, tidak akan pernah haram pada satu waktu, kemudian berubah menjadi halal pada waktu lain. Demikian juga keharaman riba, memata-matai orang Islam, menipu, meminta bantuan kepada orang kafir, suap, dan sebagainya. Statemen bahwa hukum harus berubah karena faktor perubahan waktu dan tempat tentu merupakan bentuk keberanian yang luar biasa terhadap Allah. Allah SWT berfirman:

﴿وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ
لاَ يُفْلِحُونَ﴾

Janganlah kalian berdusta dengan sebab apa yang disifatkan oleh lidah kalian, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang berdusta terhadap Allah tidak akan berhasil. (QS an-Nahl [16]: 116).

Apabila hukum Islam harus berubah karena faktor waktu dan tempat, berarti akan ada satu fakta atau kasus yang memiliki dua hukum sekaligus—halal dan haram—meskipun dalam wilayah dan rentang waktu yang tidak sama. Ini jelas mustahil karena Allah tidak mungkin menurunkan dua hukum yang berlawanan untuk kasus yang sama. Hal ini juga sangat kontradiktif dengan karakter kesempurnaan syariat Islam.

Memang, realitas yang menjadi obyek hukum boleh jadi mengalami perubahan, tetapi hukum atas realitas itu sendiri tentu saja tidak berubah. Dalam istilah para ahli fikih (fuqahâ’), obyek hukum biasa disebut manâth al-hukm.23 Dalam al-Quran dan as-Sunnah, misalnya, khamar sampai kapanpun dan di mana pun tetap diharamkan. Akan tetapi, ketika esensi khamar berubah menjadi cuka, maka ia menjadi halal. Dalam dua keadaan ini sebetulnya tidak dapat dikatakan telah terjadi perubahan hukum. Yang terjadi adalah perubahan manâth al-hukm yang memungkinkan dihasilkannya dua hukum yang berbeda: khamar tetap khamar dengan keharamannya; cuka tetaplah cuka dengan kehalalannya. Sebab, keduanya memiliki esensi dan manâth al-hukm yang berbeda.

Demikianlah, setiap hukum syariat mempunyai manâth al-hukm. Setiap terjadi perubahan manâth, pasti ada hukum lain untuk manâth yang baru tersebut. Manâth, menurut al-Ghazâli, tidak sama dengan ‘illat (latar belakang/motif diberlakukannya hukum).24 Sebab, tidak semua hukum mempunyai ‘illat, tetapi ia pasti mempunyai manâth. Karena itu, menurut as-Syâtibi, penentuan hukum atas manâth al-hukm harus tepat, dan hanya berlaku untuk manâth tersebut, tidak untuk yang lain.25

Contoh lain, orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh menunaikan shalat sambil duduk atau berbaring. Perubahan posisi dari sebelumnya wajib berdiri menjadi boleh duduk tidak dapat dikatakan sebagai perubahan hukum karena kondisi berbeda, tetapi karena memang adanya perbedaan hukum yang didasarkan pada dua manâth al-hukm yang memang berbeda: orang sehat tidak sama dengan orang sakit. Karena itu, orang sehat tetap wajib menunaikan shalat dengan berdiri, sedangkan orang sakit dibolehkan melaksanakan shalat sambil duduk atau berbaring. Jika hukum untuk orang sehat diberlakukan juga pada orang sakit, jelas keliru, karena masing-masing mempunyai manâth al-hukm yang berbeda. Demikian seterusnya.

Di samping itu, syariat Islam diberlakukan atas manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia; bukan karena faktor suku, etnik, geografis, ataupun karena faktor Arab atau non-Arabnya. Di mana pun dan kapan pun, manusia, baik Arab atau non-Arab, esensinya sama; masing-masing mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah yang sama. Kondisi ini tidak pernah berubah. Karena itu, gagasan bahwa hukum harus berubah karena faktor waktu dan tempat sebenarnya bukan merupakan keniscayaan hidup manusia. Sebab, esensi kemanusiaan pada diri manusia tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah sarana fisik dan wujud materi yang melingkupinya. Dengan demikian, dinamisasi, perkembangan, dan perubahan tersebut sebenarnya hanya menyangkut bentuk-bentuk materi atau sarana-sarana fisik yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan naluriahnya. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi tuntutan jasmaniah maupun naluriahnya, tidak pernah berubah. Contoh, manusia memerlukan makanan, minuman, pakaian, tidur, beristirahat. Semua ini diperlukan oleh manusia pada zaman mana pun dan di mana pun meskipun boleh jadi alat pemuas dan kualitasnya berbeda-beda. Alat pemuas dan kualitas kebutuhan manusia zaman purba, misalnya, tentu berbeda dengan alat pemuas dan kualitas yang dibutuhkan manusia pada zaman modern meskipun kebutuhan mereka untuk makan, minum, berpakaian, tidur, dan istirahat tidak pernah berubah.

Karena itulah, berkaitan dengan benda-benda sebagai alat pemuas kebutuhan manusia, Islam telah menggariskan kaidah hukum yang sama yang berlaku untuk segala tempat dan segala zaman, yakni:

[اَلأَصْلُ فِي اْلأَشْيِاءِ الإِبَاحَةُ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ]

Hukum asal benda (barang) adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. 26

Sebaliknya, berkaitan dengan perbuatan yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan jasmaniah maupun naluriah—yang tidak pernah berubah itu—Islam menggariskan kaidah berikut:

[اَلأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالْ التَّقَيُدُ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ]

Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.27

Walhasil, propaganda atas gagasan bawha hukum harus berubah karena waktu dan tempat tidak mempunyai pijakan syariat yang jelas dalam Islam.

Syariat Islam dan Aspek Kemaslahatan

Pertimbangan kemaslahatan juga sering menjadi pijakan dalam menentukan hukum. Benarkah aspek kemaslahatan mempunyai tempat dalam penentuan hukum syariat ataukah sebaliknya, syariatlah yang menentukan ada dan tidaknya aspek kemaslahatan tersebut?

Kemaslahatan pada dasarnya adalah diperolehnya manfaat dan terhindarkannya kerusakan (jalb al-manâfi’ wa daf‘ al-mudhirrah). Menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidak hanya otoritas syariat semata. Syariatlah yang dapat menentukan hakikat kemaslahatan tersebut. Sebab, kemaslahatan yang dimaksud tentu kemaslahatan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah. Memang, kemaslahatan adakalanya dapat ditentukan oleh akal maupun syariat. Masalahnya, mana kemaslahatan yang benar-benar sesuai dengan fitrah manusia: yang ditentukan oleh akal atau syariat?

Jika akal dibiarkan menentukan kemaslahatan sendiri, padahal sejatinya akal memiliki kemampuan yang terbatas, pasti ia tidak akan mampu menjangkau hakikatnya, karena akal juga tidak mungkin mampu memahami hakikat manusia. Yang dapat memahami hakikat manusia hanyalah Pencipta manusia, yakni al-Khâliq, Allah SWT.

Memang, manusia dapat saja menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidak. Akan tetapi, dia tidak mungkin meenentukannya secara pasti. Padahal, menentukan kemaslahatan berdasarkan asumsi atau klaim hanya akan menyeret manusia ke dalam kehancuran. Sebab, adakalanya manusia mengira suatu perkara mengandung kemaslahatan, tetapi akhirnya terbukti menimbulkan kemadaratan. Demikian juga sebaliknya. Ini dari satu aspek. Sementara itu, dari aspek lainnya, dapat dikatakan bahwa penilaian akal atas aspek kemaslahatan tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya. Artinya, kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia pastilah bersifat asumtif sekaligus relatif.

Karena itu, akal tidak boleh dibiarkan untuk menentukan aspek kemaslahatan. Syariatlah—yang notabene bersumber dari Zat Yang Mahatahu—yang harus menentukannya. ٍSebab, hanya syariatlah yang mampu menentukan kemaslahatan dan kemadaratan yang hakiki. Karena itu, yang mesti dilakukan akal adalah sekadar mencerap suatu realitas sebagaimana apa adanya, lalu memahami nash syariat mengenai realitas tersebut, baru kemudian menerapkan nash tersebut atas pada realitas yang dimaksud. Jika relevan, di sana pasti ada kemaslahatan atau kemadaratan sebagaimana yang dinyatakan oleh syariat. Akan tetapi, jika tidak relevan, makna yang relevan dengan realitas tersebut harus dicari sehingga kemaslahatan atau kemadaratan yang dinyatakan oleh syariat tersebut dapat diketahui setelah hukum Allah atas realitas tersebut diketahui.

Walhasil, kemaslahatan yang hakiki pada dasarnya adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh syariat, bukan yang ditentukan oleh akal yang serba relatif. Dalam hal ini, penting untuk dipahami, bahwa syariat pasti mengandung maslahat. Artinya, di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat. Demikianlah sebagaimana yang dinyatakan oleh kaidah ushul berikut:

[حَيْثُمَا كَانَ الشَّرْعُ فَثَمَّتِ اْلمَصْلَحَةُ]

Di mana pun ada syariat, di situ pasti ada maslahat. []

Catatan Kaki:

1 Ibn al-Manzhûr, Lisân al-’Arab, juz I, hlm. 175; al-Fayrûz al-Abâdi, al-Qâmûs al-Muhîth, juz I, hlm. 6672; Ar-Râzi, Mukhtâr as-Shahhâh, Maktabah Lubnân, Beirut, 1996, hlm. 294.

2 Ibn al-Manzhûr, ibid, hlm. 175; al-Fayrûz al-Abadi, ibid, hlm. 6672;

3 Ar-Râzi, op. cit., hlm. 294.

4 Al-Jurjâni, at-Ta’rîfât, Dâr al-Bayân li at-Turâts, t.t., hlm. 167; ‘Abd al-Karîm Zaydân, al-Madkhal li Dirâsah as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, cet. XIV, 1996, hlm. 34.

5 Al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân., juz XVI, hlm. 163.

6 Ibn al-Manzhûr, op. cit., juz XI, hlm. 631.

7 An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm. 69.

8 Ibid.

9 An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, hlm. 73; An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1997, juz I, hlm. 29.

9 An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 191-192.

10 Muhammad Muhammad Ismâ’îl, al-Fikr al-Islâmi, Maktab al-Wa’y, Beirut, 1958, hlm. 9-10.

11 An-Nabhâni, Nizhâm, hal. 73; An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 191.

12 An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 192.

13 An-Nabhâni, Nizhâm, hlm. 74; An-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. VI, 2001, hlm. 36.

14 An-Nabhâni, Nizhâm, hlm. 24; An-Nabhâni, Mafâhîm Hizb, hlm. 55-58.

15 Hadits ash-Shiyâm, t.p., t.t.

16 An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz II, hlm. 327, hlm. 44; al-Muzni, Mukhtashar, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1998, hlm. 171; al-Jurjâni, at-Ta’rîfât, hlm. 23.

17 An-Nabhâni, Mafâhîm Hizb, hlm. 44.

18 Lihat: al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr as-Sya’b, Kaero, cet. II, 1373, juz V, hlm. 76.

19 Lihat: ‘Abd ar-Razzâq, Mushannaf, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, cet. II, 1403, juz X, hlm. 304.

20 An-Nabhâni, Nizhâm, hlm. 74; Muhammad Husayn ‘Abdullâh, al-Wâdhih fi Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1995. hlm. 369.

21 An-Nabhâni, an-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. IV, 1990, hlm. 55-56.

22 Ibid, hlm. 56.

23 Lihat: Rawwâs Qal’ah Ji, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâ’is, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 431; al-Ghazâli, al-Mustashfâ fi ‘ilm al-Ushûl, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 2000, hlm. 319; as-Syâtibi, al-Muwâfaqât, ed. Abdullâh Darâz, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., juz IV, hlm. 65.

24 Al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hlm. 304.

25 As-Syâtibi, al-Muwâfaqât, juz III, hlm. 62.

24 Muhammad Ismâ’îl, al-Fikr, hlm. 35-37; as-Suyûthi, al-Asybâh wa an-Nadhâ’ir, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., hlm. 60.

25 Muhammad Ismâ’îl, ibid, hlm. 32-35; Athâ’ bin Khalîl, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. IV, 2000, hlm. 13-15.

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================