Minggu, 31 Agustus 2008

AKSI DAMAI MENYAMBUT RAMADHAN GP UNESA

SURABAYA,1 September 2008.
Gerakan Mahasiswa Pembebasan Komisariat UNESA baru saja mengadakan aksi damai di depan kampus UNESA Ketintang. Aksi yang diadakan bertepatan dengan tanggal 1 Ramadhan ini bertujuan untuk menyeru para civitas akademika di lingkungan UNESA untuk menyambut datangnya bulan ramadhan yang penuh berkah dengan menerapkan syariah secara kaffah dan menghentikan segala aktivitas maksiat. Acara yang bertema " Jadikan Ramadhan Sebagai Momentum Persatuan Umat Islam " ini juga turut mengundang Omek-omek disekitar UNESA seperti Forum Ukhuwah Mahasiswa Islam (FUMI) Unesa dan beberapa omek lain. kegiatan dimulai pukul 06.00 sampai pukul 07.30 diisi dengan Orasi, seruan-seruan, dan diakhiri pembacaan Press Release GEMA. Aksi ini mendapatkan respon positif dari para mahasiswa dan masyarakat sekitar. (Ayus)

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Senin, 18 Agustus 2008

Khilafah Gemparkan London

Seruan Khilafah kembali akan gemparkan Inggris Raya. Pada hari Sabtu (16/08/2008), sebuah Konferensi Khilafah akan digelar secara terbuka di pusat Kota London. Konferensi yang bertema, "Khilafah: The Need for Political Unity" ini diselenggarakan oleh Hizbut Tahriri Inggris (HTB).

"Keruntuhan Khilafah Islamiyyah lebih dari 80 tahun lamanya jelas menjadi awal terpecah belahnya Dunia Muslim menjadi tak terhitung banyaknya negara-negara bangsa yang diperintah oleh para penguasa, diktator, dan Barat dibelakang "demokrat". Hari ini, tiga kawasan penting dunia Muslim berada di bawah pendudukan: Palestina, Iraq dan Afghanista. Krisis minyak dan pangan menyebabkan jutaan orang kelaparan. Perpecahan sektarian oleh kekuatan para penjajah hingga kita terpecah belah dan lemah."

"Kaum Muslim saat ini memerlukan sebuah arah dan pemikiran politik baru. Itu semua memerlukan sebuah kepemimpinan baru yang akan menyatukan umat dan menggunakan segala sumber daya untuk berbagai masalah yang tak terhitung banyaknya. Pada konferensi hari ini akan membicarakan kewajiban menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan dan mendiskusikan bagaimana kesatuan politik hanya jalan praktis memajukan umat Islam," demikian salah satu pernyataan publikasi mereka.

Dalam konferensi ini akan hadir para pembicara dari Hizbut Tahrir seperti Sajjad Khan, Dr. Mahmad Salim, Jamal Harwood, Dr. Imran Waheed, dan Taji Mustafa. Tak ketinggalan juga Sultana Parvin dari Muslimah Hizbut Tahrir Inggris ikut menjadi pembicara.

Sejak akhir bulan Rajab lalu, Hizbut Tahrir di berbagai negeri menggelar berbagai acara baik seminar, konferensi, hingga mengirimkan delegasi untuk mengkampanyekan kewajiban menegakkan Khilafah. Gerakan ini menegaskan, Khilafah sebagai kewajiban dari Tuhan, tempat membebaskan negeri-neger kaum Muslim serta tempat pancaran keadilan dan kebaikan.

disadur dari syabab.com

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Jumat, 08 Agustus 2008

34 Parpol, Golput, dan Pemilu

oleh : Zain Rahman el-Palembani

Pemilu 2009 tinggal hitungan bulan lagi. KPU telah mensahkan 34 parpol nasional ikut serta dalam ajang pesta demokrasi di negeri ini. Namun, pada faktanya jumlah parpol yang relatif banyak akan menambah daya apatis masyarakat terhadap perubahan melalui pemilu di negeri ini. Hal ini terlihat 30 % Pilkada daerah pun adalah golput yang berarti menganggap perubahan semu dalam sistem demokrasi kufur ini.

Rakyat tengah gelisah dihadapakan pada banyaknya permasalahan pelik dan menguntit sehari-hari. Di mulai dari BBM yang harganya naik dan melangit serta langka, Ahmadiyah yang tidak jadi dibubarkan, Sembako yang meningkat dan tindak kriminalitas yang naik 300% dalam setahun. Sehinga janji-janji parpol saat kampanye berlangsung tidak mempan dan mampu menggoda hati nurani rakyat. Rakyat mulai sadar bahwa elite politik tengah mempermainkan mereka sebagai kelinci-kelinci percobaan.

Partai-partai yang berkedok peduli rakyat hanya sebagai tameng mereka yang sebenarnya adalah partai busuk. Pantas saja tindakan apatisme ini, bukan dilandasi karena alsana tidak sempat mencoblosnamun masyarakat telah sadar benar bahwa saat ini pemerintah tidak mampu membuat solusi-solusi cerdas dalam menyelesaikan problematika ummat dan melihat pemerintah mudah ditekan oleh intervensi asing. Sehingga pada dasarnya pemilihan presiden dan legislatif bukan zamannya lagi untuk diutamakan karena ada sesuatu yang ahrus diutamakan yaitu berkibarnya islam sebagai Ideologi dan solusi cerdas dalam menghadapi setiap persoalan-persoalan negeri ini.

Dan untuk menerapkannya tiada lain harus ditegakkan konstitusi yang begitu agung dan mulia sebagai wadah kehidupan yang penuh berkah yaitu Daulah Khilafah Rasyidah yang dihapuskan 28 Rajab 87 tahun silam.

*Penulis adalah ketua lembaga Light Institute, aktivis GEMA PEmbebasan dan LDK DKM UNPAD


Disadur dari Gemapembebasan.or.id

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================

Sekolah Yang Penting Lulus

oleh: Wisnu Sudibjo

Pergeseran Makna

Tampaknya inilah yang memang terjadi di Indonesia yang dimulai sejak dekade 90-an. Semakin jauh dari tahun 1945 semakin terasa pula pergeseran makna belajar di sekolah. Kalau dulu orang – orang tua kita belajar mencari pemahaman, maka yang terjadi sekarang adalah mencari kelulusan. Tentu saja tolok ukur kelulusan itu adalah nilai dari matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Fenomena ini ( mencari kelulusan saja ) tidak hanya terjadi pada tingkat SMU ataupun SMP dan SD, tetapi juga terjadi pada tingkat perguruan tinggi. Sudah menjadi suatu aksioma di kampus bahwa yang penting adalah mendapatkan nilai bagus ataupun lulus. Hal ini tentu saja berbahaya bagi kecerdasan bangsa. Karena yang dihasilkan nantinya bukanlah generasi yang memiliki visi jauh ke depan tetapi generasi instant ala barat.

Salah satu jargon para kapitalis barat adalah segala hal yang berbau instant. Langsing dalam tiga hari, tiga langkah menjadi milyuner, tujuh jurus mencari pasangan dll merupakan hal yang biasa kita lihat pada buku – buku kontemporer saat ini. Rupa – rupanya hal ini juga turut dibawa ke dalam sistem pendidikan kita. Budaya yang penting lulus ( dalam UN ) merupakan salah satu cirinya.

Seputar Ujian Nasional

Banyak kalangan bertanya – tanya kenapa Ujian Nasional (UN) ini diadakan. Bukankah sudah cukup dengan evaluasi harian dan evaluasi persemester yang diadakan oleh sekolah setempat ? Apakah ujian selama tiga kali dua jam tersebut dapat merepresentasikan hasil belajar yang dicapai oleh siswa selama tiga tahun ? apakah nasib seseorang ditentukan hanya dalam enam jam itu ? serta masih banyak sekali pertanyaan – pertanyaan yang terlontar dari masyarakat terutama para siswa SMU serta SMP dan para orang tua siswa.

Mengejutkan memang dinas pendidikan nasional mengambil keputusan yang sebenarnya bukan merupakan barang baru lagi di Indonesia. Ujian tersebut juga telah berpuluh – puluh kali diadakan di Indonesia. Lalu apa bedanya ? bukankah yang dulu – dulu juga begitu saja hasilnya ?

Beberapa saat yang lalu mendiknas mengadakan show force dengan memperlihatkan angka – angka yang mencengangkan seputar UN SMU kemarin. Dikatakan bahwa angka kelulusan tahun ini meningkat pesat. Untuk SMA dari 80,76 persen pada UN 2004/2005 menjadi 92,50 persen pada UN 2005/2006. Untuk Madrasah Aliyah (MA) dari 80,37 persen menjadi 90,82 persen. SMK dari 78,29 persen pada UN 2004/2005 menjadi 91, persen pada UN 2005/2006. Wow, angka yang cukup fantastis.

Disamping itu, nilai rata – rata untuk setiap mata pelajaran yang di UN-kan juga mengalami kenaikan. Untuk SMA misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dari 6,57 menjadi 7,52. Bahasa Inggris dari 6,12 menjadi 7,54, dan Matematika/ ekonomi/bahasa Asing dari 6,54 menjadi 6,94. Menurut departemen diknas hal ini merupakan sebuah kemajuan besar karena kenaikan ambang batas yang ditetapkan.

Selesaikah masalah ?

Kenyataan dilapangan membuktikan hal yang sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di teori. Banyak faktor sebenarnya yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan studi seseorang. Tetapi tidak dengan cara instant seperti ini. Secara psikologis ketentuan ujian nasional yang hanya dilakukan sekali saja akan membawa siswa untuk melakukan apapun untuk lulus. Ini berarti tingkat contek-menyontek antar para siswa juga semakin tinggi.

Kasus – kasus seperti yang terjadi di Jakarta cukup untuk membuktikan kegagalan evaluasi belajar lewat UN ini. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah berlangganan rangking lima setiap semester selama tiga tahun, tiba – tiba saja tidak lulus UN. Sedangkan teman – temannya yang bahkan belum pernah mendapatkan rangking dapat lulus dengan hasil yang cukup memuaskan.

Fakta – fakta dilapangan seperti menyontek dengan HP, lempar – lemparan kertas, bahkan sampai – sampai terdapat peran serta guru, terjadi di lapangan. Ini semua tidak boleh kita nafikan. Seolah – olah kita tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

Mengenai nilai rata – rata yang digembar-gemborkan oleh diknas, hal tersebut tentulah tidak sesuai dengan realita proses UN itu sendiri. Karena pada dasarnya angka – angka tersebut hanyalah nilai semu. Coba saja tengok beberapa siswa yang menurut rekapitulasinya nilainya tidak bakalan setinggi itu. Bahkan yang unik, ada seorang siswa yang tidak mengerjakan soal – soal UN dengan sempurna terisi penuh, akan tetapi hasilnya sangat memuaskan yaitu nilai 10 mutlak. Dari mana hal ini dapat terjadi? Tentu muncul dalam benak para siswa toh tidak diisi semua bisa mendapatkan nilai sempurna. Lalu dimana letak kebanggaan nilai – nilai tersebut. Kalau saya sih lebih baik tidak lulus daripada lulus tetapi tidak atau kurang menguasai mata pelajaran tertentu.

Disamping itu tidak adanya sistem penilaian yang transparan juga menjadi masalah. Saya telah mengikuti tiga kali UN, yaitu pada kelas 6 SD, kelas 3 SMP, dan kelas 3 SMU. Tetapi sampai sekarang saya belum pernah sekalipun menerima lembar jawaban saya. Bukankah saya berhak untuk tahu mana yang salah dan mana yang benar. Karena saya memang ingin mencari pemahaman. Ini tentu saja lebih sebagai penegasan bahwa sekolah kita tidak mengajarkan untuk mencari pemahaman.

Seharusnya ?

Sebenarnya prinsip – prinsip yang harus dilakukan dalam rangka mendidik seorang anak sangatlah simpel. Dalam Islam hal ini telah ditentukan oleh Rasulullah dan para sahabat serta tabi’n dan tabiut tabi’in. Kita memang tidak boleh berhukum kepada fakta. Akan tetapi sekedar melihat bagaimana dahsyatnya para pelajar pendidikan Islam berkiprah, tentulah tidak ada salahnya.

Dapat kita lihat bagaimana sosok teladan muncul dari para khulafaur rashidin. Mereka sama sekali tidak pernah UN, tidak pernah ujian tulis, ataupun bentuk – bentuk ujian yang lain. Berarti tidak ada istimewanya dong pendidikan mereka. Tentu ini adalah pernyataan yang salah besar. Pendidikan mereka tentu saja istimewa sehingga mereka menjadi orang – orang yang istimewa pula.

Ataupun juga bagaimana Islam menghasilkan sosok Ibnu Sina. Beliau adalah ahli ilmu – ilmu kedokteran. Buku – buku beliaulah yang mendasari lahirnya ilmu kedokteran modern.

Satu hal yang pasti bahwa berdasarkan hadist :

“ Apabila Alloh menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar” ( HR. Bukhari )

Dalam hadist tersebut yang dituntut oleh Syari’ ( pembuat hukum ) adalah menuntut ilmu. Menuntut ilmu adalah sebuah proses bukan hasil. Karena seperti kita ketahui dalam Islam bahwa manusia yang mengusahakan dan Alloh lah yang menentukan.

Alloh swt berfirman :

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami." Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 131)

Jadi secara syar’i bukanlah kepandaian, nilai yang bagus, ataupun kelulusan instant yang menjadi tolok ukur hasil studi seseorang. Walaupun begitu kita tidak menafikan bahwa ujian bagi seorang penuntut ilmu haruslah ada. Akan tetapi tidak dengan cara – cara yang bersifat instant seperti UN. Dan hal tersebut hanya digunakan untuk mengetahui seberapa besar pelajaran yang diberikan dapat terserap. Bukan hanya sekedar menghafal cara mengerjakan tetapi juga dapat mengaplikasikannya.

Pada masa Imam Bukhari masih muda, beliau pun juga diuji oleh para ahli hadist sebelumnya untuk mengetahui seberapa banyak dan kuat hafalannya. Alkisah Imam Bukhari diuji untuk membetulkan sekumpulan hadist yang telah ditukar dan diacak – acak susunan sanad dan rawinya. Itu saja, hanya sekedar untuk mengetahui seberapa kuat hafalannya. Tidak untuk mencari kelulusan ataupun mencari nilai – nilai tertentu sebagai syarat kelulusan. Karena yang dipandang adalah prosesnya bukan hasilnya.

Satu hal lagi yang menarik adalah aplikatifnya. Bagaimana dapat kita lihat ujian yang diberikan kepada Imam Bukhari tersebut sangat aplikatif berkaitan dengan hadist. Langsung dapat terpakai. Bukan merupakan suatu hal yang bersifat hipotesis semata atau teoritis semata. Langsung ujian praktek. Karena dengan mempraktekkan, hal itu akan menjadi sebuah pemahaman bukan sekedar hafalan.

Cerita yang lain lagi. Pernah suatu ketika seorang guru tenis sedang mengajarkan bagaimana cara memukul bola yang baik dan tepat sasaran. Berkali – kali sang murid mencoba akan tetapi tetap saja meleset kesana – kemari. Namun sang guru tidak peduli dengan hasil pukulannya. Yang dia lihat sejak awal sampai akhir hanyalah bagaimana cara si murid ini memukul. Ketika dia ditanya mengapa begitu, dia dengan enteng menjawab : “ karena saya tahu bahwa tidak mungkin pukulannya akan tepat kalau cara memukulnya salah”.

Dari cerita ini pula dapat kita ambil sebuah hikmah yang mendalam. Betapa pemerintah kita terlalu sibuk dengan hasil UN yang naik. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa metode yang benar pasti akan membawa hasil yang baik. Sebaliknya, hasil yang baik belum tentu dibawa oleh metode yang benar. Dan bila metodenya tidak benar, maka sesungguhnya hasil yang dicapai pun merupakan sebuah hal yang semu pula.

Intinya hasil pasti akan mengikuti metode, tetapi tidak sebaliknya yaitu metode pasti mengikuti hasil. Dalam kasus UN, seharusnya sang gurulah yang berhak untuk menentukan lulus tidaknya seseorang. Karena bagaimanapun juga sang gurulah yang lebih tahu tentang bagaimana sang siswa ini berproses. Bukannya diknas yang sama sekali tidak ikut mendidik sang murid tersebut.

Kalaupun output yang dihasilkan jelek atau kurang berkualitas, maka seharusnya yang diintrospeksi adalah diknas itu sendiri. Diknas lah yang seharusnya di uji secara langsung kemampuannya dalam mendidik umat. Kalau seorang siswa “tidak baik” maka yang harus dievaluasi adalah pihak penyelenggara pendidikan. Bukankah mendidik anak itu bagaikan mengukir diatas batu. Maka tergantung yang mengukir mau seperti apakah ukiran tersebut nantinya. Wallahua’lam bishowwab

Penulis adalah mahasiswa S1 ITB Fakultas Teknologi Industri Program Studi Teknik Fisika, saat ini juga menjabat sebagai kepala divisi kaderisasi Gema Pembebasan Wilayah Jawa Barat.

Disadur dari Gemapembebasan.or.id

===========================================
GEMA PEMBEBASAN
Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam
===========================================